SAPARAN
Orang Jawa pada umumnya setiap kali selesai melakukan panen raya selalu mengadakan upacara yang disebut saparan atau perti desa. Perti desa atau bersih desa merupakan sebuah wujud kearifan lokal yang dilakukan secara turun temurun oleh kebanyakan desa didalam masyarakat jawa sejak jaman dahulu oleh nenek moyang mereka.
Upacara Saparan biasanya dilakukan setahun sekali yaitu pada bulan sapar pada kalender bulan jawa. adalah upacara adat mengirim doa untuk leluhur yang dilaksanakan setahun sekali. Dalam upacara ini juga diberikan sesajian kepada para leluhur yang dimaksudkan agar para leluhur juga menikmati hasil bumi selama ini.
Rangkaian acara Saparan atau Perti Desa biasanya dilakukan sehari semalam yang diawali dengan selamatan Dalam upacara perti desa selalu ada selamatan yang dijadikan persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam acara selamtan itu ada persembahan yang isinya bisa bermacam-macama. Namun pada umumnya gunungan dibuat hasil bumi. Diantaranya persembahan yang ada adalah:
- Nasi gurih berbentuk tumpeng dan kelengkapannya, ingkung ayam jago. Makna tumpeng sebelum datangnya pengaruh ajaran Islam yang dibawa oleh Wali Sanga, ialah gambaran gunung keramat Himalaya dengan puncak Suralaya tempat bertahtanya para Dewa (menurut ajaran Hindu). Ingkung ayam jago bermakna suatu penyerahan diri secara utuh dan bulat (tidak mendua) dan ajeg selamanya. Namun setelah ajaran Islam masuk dengan pengaruh ajaran Wali Sanga (khususnya sunan Kalijaga), hal tersebut dimaknai simbol hormat dan ketaatan kepada kanjeng nabi agung Muhammad SAW, sehingga nasi tumpeng gurih dan ingkung ayam jago dinamai Rasulan.
- Nasi Golong sejumlah 9 (sembilan) buah bermakna "golong-gliging" (Jawa; niat), "manunggale Kawula Gusti" (Jawa; bersatu seluruh masyarakat dan pemimpinnya), bersatunya "jagad cilik" (Jawa; mikrokosmos) dan "jagad gedhe" (Jawa; makrokosmos). Sedangkan bilangan 9 (angka sembilan) adalah angka agung, sebab dikalikan dengan angka berapapun bila angkanya dijumlahkan selalu menghasilkan angka 9.
- "Larakan" (Jawa; sajian) yang terdiri atas hasil bumi yang disebut "pala kepedhem", "pala gumantung", "pala kasimpar" yang bermakna permohonan agar hasil pertanian membawa barakah dan manfaat.
- "Golong Kencana" (Jawa; golong ketan yang ditutup dan didasari telur dadar dan tanpa garam). Awalnya untuk "bekti Dewi Pertiwi"; setelah ada pengaruh Islam, bertujuan untuk berbakti dan mengenang jasa dewi Siti Fatimah, putri Rasulullah SAW; bahwa panutan wanita adalah Siti Fatimah (masyarakat desa menyebutnya dengan nama Dewi Siti Pertimah).
Biasanya masyarakat menaggap pertunjukan wayang kulit sebagi puncak saparan atau bersih desa. Wayang kulit dilakukan siang hari dengan lakon khusus dan malam hari dengan lakon tertentu. hal ini dilakukan karena ada anggapan bahwa Pandhawa merupakan lambang arwah para leluhur, sedangkan para kurawa lambing arwah yang jelek. jadi pada saat bersih desa, lakon bratayudha sering dimainkan pada saat malam harinya, sedangkan pada siang hari mengambil lakon Sri Mulih yang menceritakan tentang Dewi pertanian.
Lakon Baratayudha dijadikan simbol peperangan antara yang baik dan yang buruk. arwah baik akan membantu, sedangkan arwah buruk akan mengganggu. Maka harus diberi sesaji, agar aewah jahat jinak dan mau membantu warga masyarakat. Adapun sesaji yang biasa dipersiapakan adalah sajian (hidangan) sebagai berikut.
- Jajan pasar, melambangkan permintaan, supaya para petani mudah menjual hasil panennya dan pedagang mudah mencari dan menjual dagangannya serta mendapat keuntungan.
- Ingkung panggang, maksudnya adalah untuk mengingat asal mula kejadian manusia,
bahwa manusia berasal dari tidak ada menjadi ada dan kembali tidak ada.
- Kelapa dua pasang, melambangkan bahwa hakekatnya isi dunia itu ada dua,
yaitu siang dan malam, sedih gembira, miskin kaya, mati dan hidup dan seterusnya.
- Ayam kecil (hidup), melambangkan sesuatu yang dimintakan itu dapat hidup dan berlanjut. Hidup adalah tumbuh dan berkembang, misal lahir, merangkak, berjalan dan menjadi besar.
Minggu, 02 November 2008
Langganan:
Komentar (Atom)